Yuk Intip Sejarah Aksara Sunda Beserta Penggunaannya Yang Tepat

 

Terkenal dengan keragaman suku dan budaya, membuat Indonesia memilki bahasa dan aksara yang berbeda. Aksara Sunda misalnya, dimana aksara ini sudah digunakan sejak abad ke 14 untuk menuliskan bahasa yang kala itu digunakan. Sayangnya masyarakat Sunda dipaksa meninggalkan aksara tersebut, yang berakhir punah saat memasuki masa kemerdekaan. Untuk mengenalnya lebih lanjut, silahkan simak ulasan singkat berikut.

Mengulik Sekilas Sejarah Aksara Ngalagena

Sebenarnya belum ditemukan bukti jelas bagaimana awal mula aksara satu ini lahir, hingga pertanyaan sejak kapan pendahulu menggunakan aksara tersebut. Namun ada satu hal pasti yang berhasil diketahui, yaitu sebelum abad ke 14 telah ditemukan berbagai prasasti serta naskah lontar (kropak) yang telah dituliskan dalam aksara lain. Namun pada abad ke 14 dan selanjutnya, barulah menggunakan aksara ngalagena.

Bukan hanya menggunakan satu aksara saja, ternyata aksara yang digunakan pada abad ke 14 cukup beragam.  Setidaknya ada dua aksara yang digunkana seperti aksara Pallawa (sebuah prasasti Tugu di abad ke 14), serta aksara Jawa (ditemukan pada prasasti Sanghyang Tapak di abad ke 11). Tentu saja bahasa yang digunakan adalah Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, atau bahkan ada yang menggunakan Melayu Kuno.

Sistem Aksara Ngalagena

Aksara Sunda terdiri dari 32 buah, dengan 7 aksara swara (a, é, i, o, u, e, serta eu),  23 aksara ngalagena (ka ga nga, ta da na, ca ja nya, pa ba ma, wa sa ha, ya ra la, fa va qa xa dan za). Khusus untuk aksara fa, va, qa, xa, serta za termasuk aksara baru yang akan digunakan untuk mengonversi dari aksara latin. Apabila dilihat dari grafis, anda bisa melihat jika aksara satu ini cenderung berbentuk persegi dengan tingkat ketajaman yang tampak mencolok.

Meski dikatakan tajam, ada beberapa sebagian yang tampak berbentuk bulat. Pada aksara swara, setiap tulisan dilambangkan sebagai bunyi fonem vokal mandiri yang memiliki peran dalam sebuah suku kata. Aksara swara ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aksara ngalagena lainnya karena dirinya dapat ditempatkan di posisi awal, tengah, atau pada akhir kata sekalipun.

Berbeda lagi dengan aksara Ngalagena, dimana aksara ditulis secara silabis (dapat berdiri sendiri dengan suku kata) yang dianggap mampu melambangkan bunyi fonem konsonan. Aksara Ngalagena juga memiliki peran sebagai sebuah kata dan suku kata yang bisa diletakkan di posisi awal, tengah, ataupun akhir kata. Pada setiap konsonan Aksara Sunda, akan diberikan tanda pamaeh dengan maksud agar bunyi  ngalagena mati.

Meski pernah dinyatakan musnah akibat keadaan yang tidak mendukung, kabar gembiranya telah dilakukan berbagai penelitian yang menyadarkan masyarakat jika aksara khas Sunda pernah ada pada masanya. Dipercaya sebagai identitas khas dari masyarakat Sunda, aksara ini pun diperkenalkan kembali lewat berbagai acara kebudayaan daerah agar tetap lestari. Bahkan anda bisa menemukan aksara tersebut pada papan nama Museum di Bandung.

Similar Posts